Dilema AI Bagi Dunia Pendidikan


Ini adalah kisah nyata yang bisa menjadi refleksi bagi kita para pendidik. Jadi pada suatu hari, sekitar enam bulan yang sudah lewat kami memberikan tugas kepada para siswa kelas X untuk melakukan observasi kegiatan gelar karya P5 di sekolah. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sejak dini bidang pekerjaan yang nantinya akan ditekuni pada saat melaksanakan Praktik Kerja Lapangan atau setelah mereka lulus dari SMK. Kami membekali mereka dengan LKPD yang harus diisi. Wali kelas selaku fasilitator bertugas menjelaskan tentang tata cara pengisian LKPD tersebut. Namun, entah mengapa ada sejumlah peserta didik yang sudah mengisi LKPD, bahkan sebelum melakukan observasi, padahal seharusnya mereka berkunjung ke lokasi bazar TEFA jurusan dan baru setelah itu mengisi LKPD-nya masing-masing berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukannya. Usut punya usut ternyata mereka memanfaatkan smartphone mereka untuk mencari jawaban di internet. Lagi-lagi masalahnya adalah pada ketergantungan para pelajar terhadap teknologi Artificial Intelligence alias kecerdasan buatan.

Kondisi seperti diatas mungkin banyak dialami oleh para pendidik (guru), dimana banyak peserta didik yang memanfaatkan keberadaan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang ada di genggaman mereka. Bahkan saking bergantungnya mereka kepada teknologi AI, rasa percaya dirinya pun lambat laun juga ikut meredup dan menghilang. Tidak ada lagi proses membaca dan berpikir kritis - semuanya berlangsung secaraa pragamatis. Ketika seorang guru memberikan tugas tertentu kepada muridnya, sang murid akan berpikir bagaimana menyelesaikannya dengan mudah dan praktis, tanpa perlu berpikir keras dan menghabiskan energi yang besar. Ya, tentu saja AI adalah pilihan yang paling menjanjikan. Dengan bantuan AI, tugas-tugas sekolah menjadi 'sangat mudah' bahkan bagi mereka yang tidak terbiasa berpikir secara kritis.  

Dalam lingkup yang lebih luas, terjadi pergeseran nilai dan perilaku ditengah masyarakat. Sebelum internet berkembang seperti sekarang, orang sangat menghargai akal dan pikirannya sendiri. Kita terbiasa untuk berpikir keras demi memcahkan sebuah masalah. Namun saat ini orang lebih suka 'menafikan' kemampuan berpikirnya dan mempercayakan akal dan pikirannya kepada AI. Pergeseran nilai ini tidak hanya dialami oleh generasi Z saja, namun banyak juga generasi millenial dan yang lebih  'sepuh' juga mengalami hal yang sama. Sekarang apapun kebutuhannya, mulai dari chat, menulis, menggambar, bahkan membuat video sudah dapat dibantu oleh AI.

Teknologi AI memang canggih, teknologi AI memang bagus, teknologi AI memang keren dan karenanya banyak orang yang merasa terbantu. Namun, jika kemajuan teknologi ini tidak dibarengi dengan kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak maka kemungkinan besar kita hanya akan menjadi pengikut dari arus kemajuan teknologi itu tanpa daya nalar yang kritis terhadap dampaik baik dan buruknya.

Satu hal yang mungkin harus menjadi penekanan kepada diri kita bahwasanya AI hanyalah software yang memiliki kemampuan kognitif seperti manusia. Namun, AI bukanlah brainware yang notabene adalah manusia. Manusia memiliki kebijaksanaan, sedangkan AI tidak. Dengan kebijaksanaan ini manusia bisa menimbang-nimbang sebuah keputusan dari berbagai macam aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan keputusan yang "tepat" menurut dirinya.

Kembali kepada pokok bahasan tentang Dilema AI, dunia pendidikan sesungguhnya sedang menghadapi tantangan yang sangat besar. Pada struktur kurikulum terbaru, pemerintah menambahkan Koding dan Kecerdasan Artifisial sebagai mata pelajaran pilihan mulai jenjang sekolah dasar. Disisi lain sepertinya pemerintah ingin pelajar Indonesia menjadi pelajar yang gemar membaca buku sehingga alokasi belanja BOS untuk pembelian buku ditingkatkan sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2025. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa satuan pendidikan setidaknya mengalokasikan 10% (sepuluh persen) dari dana bantuan operasional yang diterimanya untuk pengadaan buku, baik buku fisik maupun buku digital. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 Tentang Standar Kompetensi Lulusan menyebutkan bahwa dari delapan dimensi profil lulusan diakhir masa pendidikan terdapat dimensi penalaran kritis dan kreatifitas yang saat ini banyak diambil alih perannya oleh teknologi yang bernama AI.  

Lantas bagaimana pendapat rekan-rekan guru terkait dengan hal ini? Bagaimana cara guru beradaptasi dengan perkembangan teknologi AI? Adakah praktik baik dalam pembelajaran yang sukses menjembatani kebutuhan akan informasi yang cepat dan akurat namun tetap dapat menjaga kreatifitas dan penalaran kritis siswa? Mari bagikan pendapat dan pengalaman Anda di kolom komentar. 

Tidak ada komentar

Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
Youtube Channel Image
Channel Agenda Pembelajaran Tutorial Komputer Administrasi
Subscribe